Pembelajaran
di SLB A
Sekolah luar biasa A adalah sekolah yang
hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus yaitu
hanya kepada anak tunanetra. Tunanetra adalah Individu yang mengalami hambatan
dalam penglihatan atau ketidakberfungsian organ penglihatan.
Klasifikasi Tunanetra
Klasifikasi
anak tunanetra berdasarkan waktu terjadinya waktu terjadinya ketunanetraan,menurut
lowenfeld :
1.
Tunanetra
sebelum dan sejak lahir : dimana individu sama sekali tidak memiliki pengalaman
penglihatan
2.
Tunanetra
pada usia kecil : dimana individu telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman
visual tetapu belum kuat dan mudah terlupakan
3.
Tunanetra
pada usia sekolah atau pada masa remaja :dimana individu telah memiliki
kesan-kesan visual yang meninggalkan pengaruh mendalam terhadap proses perkembangan
pribadi
4.
Tunanetra
pada usia dewasa : dimana individu yang pada umumnya sudah mampu melakukan
latihan-latihan penyesuaian diri.
5.
Tunanetra
pada usia lanjut : dimana individu sebagian besar individu sudah sulit
mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri
6.
Tunanetra
akibat bawaan (partial sight bawaan)
Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan
daya penglihatan
1.
Tunanetra
ringan ( defective vision / low vision)
Yaitu individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan
tetapi masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan
pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan
2.
Tunanetra
setengah berat (partially sighted)
Yaitu individu yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, tetapi mampu mengikuti pendidikan biasa dengan menggunakan kaca
pembesar ataupun hanya bisa membaca tulisan yang bercetak tebal.
3.
Tunanetra
berat ( totally blind)
Yaitu
individu yang sama sekali tidak dapat melihat.
Klasifikasi pada tunanetra dibuat
berdasarkan :
Segi
Pendidikan
Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
§ Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang
setelah memperoleh pelayanan medik.
§ Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal
dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan
fasilitas pendidikan yang khusus.
Karakteristik
Anak Tunanetra
a.
Fisik (Physical)
Gejala
tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
ü Mata
juling
ü Sering
berkedip dan gerakan mata cepat
ü Menyipitkan
mata
ü (kelopak)
mata merah
ü Mata
infeksi dan selalu berair
ü Pembengkakan
pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
b.
Perilaku (behavior)
Ada beberapa
gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang
mengalami gangguan penglihatan secara dini :
ü Menggosok
mata secara berlebihan.
ü Menutup
atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke
depan.
ü Sukar
membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan
mata.
ü Berkedip
lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu
pekerjaan.
ü
c.
Psikis
I.
Mental / Intelektual
Intelektual
atau kecerdasaran anak tunanetra pada umumnya tidak berbeda jauh dengan anak
normal. Kecenderungan IQ anak tunanetra berada pada batas atas sampai pada
batas bawah, sehingga ada anak tunanetra yang pintar, cukup pintar, dan tidak
pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi,
asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti
sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
II.
Sosial
Hubungan
sosial yang pertama sekali terjadi pada anak adalah hubungan dengan anggota
keluarga (ayah, ibu, saudara). Terkadang, ada orang tua yang tidak siap
menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan (masalah) dalam
keluarga tersebut.
Tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa
masalah, yaitu:
1)
Curiga terhadap orang lain
2)
Perasaan mudah tersinggung
3)
Ketergantungan yang berlebihan
C. Strategi
Pembelajaran Anak Tunanetra
Permasalahan strategi
pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran,
yaitu :
1.
Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai
dengan kondisi anak (di satu sisi).
2.
Upaya pemanfaatan secara optimal
indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan
hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Prinsip-Prinsip
Pembelajaran Anak Tunanetra
I.
Prinsip Individual
adalah
prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru
dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam
pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas
dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia,
kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra
menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya
(tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan,
dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada
beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan
anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan
perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan
anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
Alat Pendidikan
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari alat pendidikan khusus, alat bantu, dan alat peraga:
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari alat pendidikan khusus, alat bantu, dan alat peraga:
- Alat pendidikan khusus: reglet dan pena, mesin tik brailer, printer brailer, abacus
- Alat bantu : alat bantu perabaan (buku-buku) dan alat bantu pendengaran (kaset,CD,talkingbooks)
- Alat peraga : alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengar
Tenaga pendidikan yang dibutuhkan antara lain:
- Guru
- Psikolog
- Dokter mata
- Optometris
Metode yang dipakai adalah metode tematik integrative
Pembelajaran di SLB B
·
Kurikulum yang
digunakan adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan bobot yang
berbeda dan disesuaikan dengan ketunaannya, hal ini disebabkan karena SLB
berbeda dengan sekolah reguler dari segi akademisnya, sosialnya, dan banyak hal
yang membuat anak-anak yang sekolah di SLB itu berbeda dengan anak-anak yang
bersekolah di sekolah reguler. RPP yang digunakan di SLB sama dengan RPP yang
ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana
ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan.
Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun berbeda, ada yang bisa menangkap
dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan tahunan tergantung kemampuan anak
tersebut dalam menangkap materi pembelajaran.
·
Di SLB B layanan
pendidikan yang digunakan yaitu lebih banyak menggunakan layanan face to face
(tatap muka) karena di SLB tidak mungkin menggunakan sistim klasikal, hal itu
disebabkan oleh SLB menangani anak yang berkebutuhan khusus perlu penanganan
khusus dan yang lebih banyak diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya. Jika
di sekolah reguler, guru bisa sambil menulis, berbicara membelakangi
siswa. Sedangkan jika dibandingkan dengan SLB B guru tidak bisa melakukan hal
yang sama dengan guru di sekolah reguler seperti sambil menulis, berbicara
membelakangi siswa harus langsung bertatap muka kemudian mimiknya bagaimana,
ucapannya bagaimana banyak hal yang harus diperhatikan untuk melayani mereka
pengenalan terhadap sesuatu itu yang sulit. Pada tiap kelas juga disediakan
cermin yang berfungsi untuk melatih anak dalam artikulasi (gerak bibir). Lampu
di setiap kelas selalu dinyalakan dengan tujuan anak dapat dengan jelas membaca
mimik guru pada saat menjelaskan materi pelajaran.
·
Jumlah siswa di
setiap kelas di SLB-B tidak sama, antara 4 sampai 6 orang. Usia siswa di
masing-masing kelas juga berbeda-beda tergantung dari kemampuan siswa. Siswa
yang memiliki kemampuan lebih cepat menangkap materi pelajaran akan ditempatkan
di kelas akselerasi (percepatan).
·
Metode yang
digunakan di SLB-B dengan di sekolah regular berbeda, disesuaikan dengan materi
dan tingkat kemampuan anak. Sebagian besar anak SLB-B tidak bisa baca tulis,
namun anak mengetahui maksud yang guru sampaikan seperti jika guru menyuruh
anak untuk mengambil sesuatu, guru akan memberitahu anak dengan menggunakan
bahasa isyarat, anak akan mengerti dan langsung mengambil barang yang
dimaksudkan.
·
Mengenai buku
pelajaran yang digunakan, SLB-B menggunakan buku BSE sama dengan buku sekolah
regular, namun tidak semua materi digunakan. SLB-B hanya mengambil
materi-materi pelajaran yang sifatnya umum.
·
Teknik Assessment
SLB B yang digunakan adalah sistem assessment secara individual yaitu mengadakan
ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester. Rangkaian
Assessmen dilakukan melalui ulangan sehari-hari, ulangan tengah semester dan
ulangan akhir semester secara klasikal dan individual melalui pengembangan
program sesuai dengan kurikulum yang digunakan di SLB tersebut.
·
Mengenai
ekstrakulikuler yang diterapkan disekolah SLB B, terdapat beberapa
ekstrakurikuler yang diberikan atau dilatihkan pada anak yaitu pramuka, tari,
olahraga seperti sepakbola dan senam, komputer (IT), kerajinan tangan seperti
menjahit dan sablon.
Pembelajaran di SLB C/C1
Seperti
namanya, pendidikan tunagrahita, maka pendidikan ini diberikan bagi anak
tunagrahita. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan tunagrahita itu? Tunagrahita
adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah
rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang
muncul dalam masa perkembangan, mereka juga tidak dapat mencapai kemandirian
yang sesuai dengan ukuran (standar) kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak tunagrahita juga mengalami masalah dalam
keterampilan akademik dan berpartisipasi dengan kelompok teman yang memiliki
usia sebaya. Banyak yang menyatakan bahwa anak tunagrahita sama dengan
anak yang mengalami retardasi/keterbelakangan mental.
Umumnya,
anak tunagrahita dapat dicirikan sebagai berikut:
a.
Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya
kepala terlalu kecil/ besar;
b.
Pandangan kosong;
c.
Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai
usianya;
d.
Perkembangan berbicara/bahasa terlambat;
e.
Perhatian yang sangat kurang terhadap
lingkungan dan kurang peka;
f.
Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering
tidak terkendali); dan
g.
Sering mengeluarkan ludah (ngiler).
Berdasarkan
skor intelegensi (IQ), anak tunagrahita dibadi menjadi 3, yaitu:
a.
Tunagrahita
ringan (IQ antara 51-70)
b.
Tunagrahita
sedang (IQ antara 36-51)
c.
Tunagrahita
berat (IQ ≤ 20)
Namun
dalam pendidikan, anak tunagrahita dikelompokkan ke dalam dua kategori:
a.
Anak
tunagrahita yang masuk SLB C
·
Anak
yang memiliki IQ antara 50-70;
·
Anak
mampu didik;
·
Anak
dapat dimasukkan ke kelas khusus maupun reguler;
·
Kemampuan
setara anak normal umur 8-12 tahun;
·
Dapat
membaca, menulis, berhitung sederhana, dan melakukan aktivitas lain.
b.
Anak
tunagrahita yang masuk SLB C1
·
Anak
yang memiliki IQ antara 25-49;
·
Anak
mampu latih;
·
Jumlah
siswa maksimal 10 orang per kelas;
·
Kemampuan
setara anak normal umur 3-8 tahun;
·
Perlu
latihan rutin dan berkesinambungan untuk dapat melakukan aktivitas;
·
Hanya
sebagian kecil yang dapat membaca, menulis, dan berhitung;
·
Kemampuan
intelektual lebih terbatas;
·
Mereka
dapat diajarkan kemampuan mengurus diri dan keahlian tertentu.
Anak tunagrahita harus diberikan
pembelajaran yang intens karena mereka memang membutuhkan sistem pembelajaran
yang kontinu dan konsisten. Disamping
itu, pembelajaran yang intensif juga sangat penting bagi mereka karena dapat
mendukung mereka dalam mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan
mereka.
Dalam keberhasilannya, pendidikan bagi
anak tunagrahita dipengaruhi oleh beberapa komponen seperti guru, siswa, sarana
dan prasarana, kurikulum, dan sebagainya. Adapun teori yang dapat diterapkan
oleh sekolah-sekolah bagi anak tunagrahita (dan anak spesial lainnya) ialah
sebagai berikut:
a
Teori
motivasi
Motivasi yang diberikan dapat berupa
reward (hadiah, pujian, dan sebagainya) maupun dorongan dari guru.
Teori
belajar dan tingkah laku
Guru dapat menerapkan strategi pembelajaran yang mampu
mengoptimalkan interaksi siswa dengan lingkungan sekitarnya (guru-murid, siswa-lingkungan, dan
sebagainya).
Pembelajaran
di SLB D/D1
A.
PENGERTIAN
SLB
D
Yang dimaksud dengan sekolah luar biasa D
adalah sekolah yang menangani anak-anak Tunadaksa/cacat fisik yang memiliki
tingkat kecerdasannya sama dengan anak normal.
Sehingga anak-anak ini diharapkan dapat
memasuki sekolah umum setelah lulus dari sekolah dasar.
Anak-anak luar biasa bagian D apabila
secara psikologis telah dapat menerima lingkungan sekitar , berintegrasi lebih
awal lebih baik ditinjau dari psikologi dan sosial anak.
SLB
D1
Sekolah yang melayani anak-anak Tunadaksa
yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata anak normal , sehingga
dibutuhkan pengajaran khusus
B. PENDIDIKAN YANG IDEAL BAGI ANAK
TUNADAKSA
Tujuan pendidikan anak Tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan yang berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik .
Tujuan pendidikan anak Tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan yang berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik .
Adapun prinsip dasar program
pendidikannya meliputi:
1. Keseluruhan anak (All the children)
2. Kenyataan (Reality)
3. Program yang dinamis (A dynamic program)
4. Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5. Kerjasama (Cooperative)
1. Keseluruhan anak (All the children)
2. Kenyataan (Reality)
3. Program yang dinamis (A dynamic program)
4. Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5. Kerjasama (Cooperative)
Sedangkan prinsip khusus
Pendidikannya terdiri dari prinsip
multisensori dan prinsip individualisasi.
Multisensori berarti banyak indera,
maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin
memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak agar
kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik.
Prinsip individualisasi berarti kemampuan
masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan
pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat berbentuk individual dan
klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hamper sama,
bahan pelajaran yang diberikan pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing
anak.
Layanan pendidikan untuk anak Tunadaksa dapat
dilakukan dengan pendekatan guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi,
campuran dan pengajaran tim.
a)
Pembelajaran
di sekolah idealnya sebagai berikut:
b)
Perencanaan
kegiatan belajar mengajar: Program pendidikan yang diindividualisasikan
c
Prinsip
Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip individualisasi
Penataan Lingkungan Belajar
Bangunan gedung memprioritaskan tiga
kemudahan:
·
mudah
keluar masuk,
·
mudah
bergerak dalam ruangan, dan
·
mudah
mengadakan penyesuaian.
e
Personil:
guru PLB, guru
regular, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis, dokter ahli ortopedi , dokter ahli syaraf , psikolog, guru BP, social
worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan
prosthetic.
f)
Bimbingan Belajar
Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah memasuki program sekolah dasar.
Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah memasuki program sekolah dasar.
g)
Pembinaan Karier dan Pekerjaan
Untuk mempersiapkan masa depan anak, di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun vokasional.
Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan asesmen karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa.
Berkaitan dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang dalam pekerjaan, dll. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dll.
Untuk mempersiapkan masa depan anak, di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun vokasional.
Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan asesmen karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa.
Berkaitan dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang dalam pekerjaan, dll. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dll.
Alur pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
Asesmen → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna
Adapun Frances P. Connor (1995) mengemukakan
sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing
anak Tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:
(1) pengembangan intelektual dan
akademik,
(2) membantu perkembangan fisik,
(3) meningkatkan perkembangan emosi dan
penerimaan diri anak,
(4) mematangkan aspek sosial,
(5) mematangkan moral dan spiritual,
(6) meningkatkan ekspresi diri, dan
(7) mempersiapkan masa depan anak.
Pembelajaran di SLB E
SLB E adalah sekolah untuk anak-anak yang
mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi (Tuna Laras). Anak Tuna Laras
pada umumnya sama dengan anak normal lainnya, hanya saja mereka kesulitan dalam
hal pengendalian emosi.
Dalam SLB E, yang paling diutamakan
adalah pembelajaran untuk mengendalikan emosi si anak. Hal ini dikarenakan
permasalahan utama anak Tuna Laras adalah dalam pengendalian emosinya. Emosi
anak Tuna Laras tidak stabil sehingga mereka sulit untuk tenang dan diarahkan.
Oleh karena itu dalam SLB E ini mereka dilatih untuk lebih tenang dan lebih
sabar dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Metode yang cukup efektif dalam
permasalahan ini adalah dengna pemberian tugas yang melatih kesabaran seperti
menyusun puzzle, meronce, bermain Lego, mewarnai, dan lain sebagainya. Dengan
pelatihan seperti itu, anak diharapkan dapat lebih bersabar dan emosi mereka
lebih terkendali. Selain itu para pengajar harus memahami kondisi si anak, dan
bagaimana keadaan si anak dengan cara mendengarkan keinginan si anak serta
mengarahkannya. Pemberian reward atas hal positif yang dilakukan anak dapat
mengarahkan tindakan si anak.
Pembelajaran di SLB G
SLB G adalah sekolah yang menangani
anak-anak yang mengalami gangguan ganda. Gangguan ganda tersebut dapat berupa
gangguan fisik maupun gangguan mental. Oleh karena itu metode pembelajaran yang
diterapkan haruslah lebih kompleks daripada metode pembelajaran yang terdapat
di jenis SLB lainnya. Penggabungan metode pembelajaran dari setiap jenis SLB
sangat dibutuhkan dalam SLB G ini. Setiap metode yang dilakukan memiliki peran
masing-masing dalam perkembangan anak-anak yang mengalami gangguan ganda
tersebut. Sama seperti di jenis SLB lainnya, di SLB G ini juga perlu dilakukan
pelatihan fisik maupun pelatihan mental. Cara pengajar dalam memahami dan
mengajari anak juga harus diperhatikan. Pengajar harus mampu mengenal dan
memahami masing-masing anak karena setiap anak pastilah memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar