Kamis, 16 Mei 2013

SLB

 Pembelajaran di SLB A
Sekolah luar biasa A adalah sekolah yang hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus yaitu hanya kepada anak tunanetra. Tunanetra adalah Individu yang mengalami hambatan dalam penglihatan atau ketidakberfungsian organ penglihatan.
Klasifikasi Tunanetra
      Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan waktu terjadinya waktu terjadinya ketunanetraan,menurut lowenfeld :
1.      Tunanetra sebelum dan sejak lahir : dimana individu sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan
2.      Tunanetra pada usia kecil : dimana individu telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapu belum kuat dan mudah terlupakan
3.      Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja :dimana individu telah memiliki kesan-kesan visual yang meninggalkan pengaruh mendalam terhadap proses perkembangan pribadi
4.      Tunanetra pada usia dewasa : dimana individu yang pada umumnya sudah mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5.      Tunanetra pada usia lanjut : dimana individu sebagian besar individu sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri
6.      Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
      Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan
1.      Tunanetra ringan ( defective vision / low vision)
Yaitu individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan tetapi masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan
2.      Tunanetra setengah berat (partially sighted)
Yaitu individu yang kehilangan sebagian daya penglihatan, tetapi mampu mengikuti pendidikan biasa dengan menggunakan kaca pembesar ataupun hanya bisa membaca tulisan yang bercetak tebal.
3.      Tunanetra berat ( totally blind)
Yaitu individu yang sama sekali tidak dapat melihat.
Klasifikasi pada tunanetra dibuat berdasarkan :
      Segi Pendidikan
Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
§  Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
§  Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
       Karakteristik Anak Tunanetra
a.       Fisik (Physical)
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
ü  Mata juling
ü  Sering berkedip dan gerakan mata cepat
ü  Menyipitkan mata
ü  (kelopak) mata merah
ü  Mata infeksi dan selalu berair
ü  Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.

b.      Perilaku (behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
ü  Menggosok mata secara berlebihan.
ü  Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
ü  Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
ü  Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
ü   
c.       Psikis
                         I.            Mental / Intelektual
Intelektual atau kecerdasaran anak tunanetra pada umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan IQ anak tunanetra berada pada batas atas sampai pada batas bawah, sehingga ada anak tunanetra yang pintar, cukup pintar, dan tidak pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
                      II.            Sosial
Hubungan sosial yang pertama sekali terjadi pada anak adalah hubungan dengan anggota keluarga (ayah, ibu, saudara). Terkadang, ada orang tua yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan (masalah) dalam keluarga tersebut.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah, yaitu:
1)      Curiga terhadap orang lain
2)      Perasaan mudah tersinggung
3)      Ketergantungan yang berlebihan
C.     Strategi Pembelajaran Anak Tunanetra
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1.      Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2.      Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).

      Prinsip-Prinsip Pembelajaran Anak Tunanetra
                         I.            Prinsip Individual
adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).

Alat Pendidikan
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari alat pendidikan khusus, alat bantu, dan alat peraga:
  • Alat pendidikan khusus: reglet dan pena, mesin tik brailer, printer brailer, abacus
  • Alat bantu : alat bantu perabaan (buku-buku) dan alat bantu pendengaran (kaset,CD,talkingbooks)
  • Alat peraga : alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengar
Tenaga pendidikan yang dibutuhkan antara lain:
  • Guru
  • Psikolog
  • Dokter mata
  • Optometris
Metode yang dipakai adalah metode tematik integrative

Pembelajaran di SLB B

·         Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan bobot yang berbeda dan disesuaikan dengan ketunaannya, hal ini disebabkan karena SLB berbeda dengan sekolah reguler dari segi akademisnya, sosialnya, dan banyak hal yang membuat anak-anak yang sekolah di SLB itu berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah reguler. RPP yang digunakan di SLB sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap materi pembelajaran.

·         Di SLB B layanan pendidikan yang digunakan yaitu lebih banyak menggunakan layanan face to face (tatap muka) karena di SLB tidak mungkin menggunakan sistim klasikal, hal itu disebabkan oleh SLB menangani anak yang berkebutuhan khusus perlu penanganan khusus dan yang lebih banyak diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya. Jika  di sekolah reguler, guru bisa sambil menulis, berbicara membelakangi siswa. Sedangkan jika dibandingkan dengan SLB B guru tidak bisa melakukan hal yang sama dengan guru di sekolah reguler seperti sambil menulis, berbicara membelakangi siswa harus langsung bertatap muka kemudian mimiknya bagaimana, ucapannya bagaimana banyak hal yang harus diperhatikan untuk melayani mereka pengenalan terhadap sesuatu itu yang sulit. Pada tiap kelas juga disediakan cermin yang berfungsi untuk melatih anak dalam artikulasi (gerak bibir). Lampu di setiap kelas selalu dinyalakan dengan tujuan anak dapat dengan jelas membaca mimik guru pada saat menjelaskan materi pelajaran.

·         Jumlah siswa di setiap kelas di SLB-B tidak sama, antara 4 sampai 6 orang. Usia siswa di masing-masing kelas juga berbeda-beda tergantung dari kemampuan siswa. Siswa yang memiliki kemampuan lebih cepat menangkap materi pelajaran akan ditempatkan di kelas akselerasi (percepatan).

·         Metode yang digunakan di SLB-B dengan di sekolah regular berbeda, disesuaikan dengan materi dan tingkat kemampuan anak. Sebagian besar anak SLB-B tidak bisa baca tulis, namun anak mengetahui maksud yang guru sampaikan seperti jika guru menyuruh anak untuk mengambil sesuatu, guru akan memberitahu anak dengan menggunakan bahasa isyarat, anak akan mengerti dan langsung mengambil barang yang dimaksudkan.

·         Mengenai buku pelajaran yang digunakan, SLB-B menggunakan buku BSE sama dengan buku sekolah regular, namun tidak semua materi digunakan. SLB-B hanya mengambil materi-materi pelajaran yang sifatnya umum.

·         Teknik Assessment SLB B yang digunakan adalah sistem assessment secara individual yaitu mengadakan ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester. Rangkaian Assessmen dilakukan melalui ulangan sehari-hari, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester secara klasikal dan individual melalui pengembangan program sesuai dengan kurikulum yang digunakan di SLB tersebut.

·         Mengenai ekstrakulikuler yang diterapkan disekolah SLB B, terdapat beberapa ekstrakurikuler yang diberikan atau dilatihkan pada anak yaitu pramuka, tari, olahraga seperti sepakbola dan senam, komputer (IT), kerajinan tangan seperti menjahit dan sablon.

Pembelajaran di SLB C/C1

Seperti namanya, pendidikan tunagrahita, maka pendidikan ini diberikan bagi anak tunagrahita. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan tunagrahita itu? Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan, mereka juga tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran (standar) kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak tunagrahita juga mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan berpartisipasi dengan kelompok teman yang memiliki usia sebaya. Banyak yang menyatakan bahwa anak tunagrahita sama dengan anak yang mengalami retardasi/keterbelakangan mental.
Umumnya, anak tunagrahita dapat dicirikan sebagai berikut:
a.       Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar;
b.      Pandangan kosong;
c.       Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usianya;
d.      Perkembangan berbicara/bahasa terlambat;
e.       Perhatian yang sangat kurang terhadap lingkungan dan kurang peka;
f.       Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali); dan
g.      Sering mengeluarkan ludah (ngiler).
Berdasarkan skor intelegensi (IQ), anak tunagrahita dibadi menjadi 3, yaitu:
a.       Tunagrahita ringan (IQ antara 51-70)
b.      Tunagrahita sedang (IQ antara 36-51)
c.       Tunagrahita berat (IQ ≤ 20)
Namun dalam pendidikan, anak tunagrahita dikelompokkan ke dalam dua kategori:
a.       Anak tunagrahita yang masuk SLB C
·         Anak yang memiliki IQ antara 50-70;
·         Anak mampu didik;
·         Anak dapat dimasukkan ke kelas khusus maupun reguler;
·         Kemampuan setara anak normal umur 8-12 tahun;
·         Dapat membaca, menulis, berhitung sederhana, dan melakukan aktivitas lain.
b.      Anak tunagrahita yang masuk SLB C1
·         Anak yang memiliki IQ antara 25-49;
·         Anak mampu latih;
·         Jumlah siswa maksimal 10 orang per kelas;
·         Kemampuan setara anak normal umur 3-8 tahun;
·         Perlu latihan rutin dan berkesinambungan untuk dapat melakukan aktivitas;
·         Hanya sebagian kecil yang dapat membaca, menulis, dan berhitung;
·         Kemampuan intelektual lebih terbatas;
·         Mereka dapat diajarkan kemampuan mengurus diri dan keahlian tertentu.
Anak tunagrahita harus diberikan pembelajaran yang intens karena mereka memang membutuhkan sistem pembelajaran yang  kontinu dan konsisten. Disamping itu, pembelajaran yang intensif juga sangat penting bagi mereka karena dapat mendukung mereka dalam mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Dalam keberhasilannya, pendidikan bagi anak tunagrahita dipengaruhi oleh beberapa komponen seperti guru, siswa, sarana dan prasarana, kurikulum, dan sebagainya. Adapun teori yang dapat diterapkan oleh sekolah-sekolah bagi anak tunagrahita (dan anak spesial lainnya) ialah sebagai berikut:
a       Teori motivasi
Motivasi yang diberikan dapat berupa reward (hadiah, pujian, dan sebagainya) maupun dorongan dari guru.
        Teori belajar dan tingkah laku
Guru dapat menerapkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi siswa dengan lingkungan  sekitarnya (guru-murid, siswa-lingkungan, dan sebagainya).

Pembelajaran di SLB D/D1
A.   PENGERTIAN
SLB D
Yang dimaksud dengan sekolah luar biasa D adalah sekolah yang menangani anak-anak Tunadaksa/cacat fisik yang memiliki tingkat kecerdasannya sama dengan anak normal.
Sehingga anak-anak ini diharapkan dapat memasuki sekolah umum setelah lulus dari sekolah dasar.
Anak-anak luar biasa bagian D apabila secara psikologis telah dapat menerima lingkungan sekitar , berintegrasi lebih awal lebih baik ditinjau dari psikologi dan sosial anak.
SLB D1
Sekolah yang melayani anak-anak Tunadaksa yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata anak normal , sehingga dibutuhkan pengajaran khusus
B. PENDIDIKAN YANG IDEAL BAGI ANAK TUNADAKSA
Tujuan pendidikan anak Tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan yang berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik .
Adapun prinsip dasar program pendidikannya meliputi:
1. Keseluruhan anak (All the children)
2. Kenyataan (Reality)
3. Program yang dinamis (A dynamic program)
4. Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5. Kerjasama (Cooperative)


Sedangkan prinsip khusus
Pendidikannya terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualisasi.
Multisensori berarti banyak indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak agar kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik.
Prinsip individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat berbentuk individual dan klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hamper sama, bahan pelajaran yang diberikan pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing anak.
 Layanan pendidikan untuk anak Tunadaksa dapat dilakukan dengan pendekatan guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi, campuran dan pengajaran tim.
a)      Pembelajaran di sekolah idealnya sebagai berikut:

b)      Perencanaan kegiatan belajar mengajar: Program pendidikan yang diindividualisasikan

c       Prinsip Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip individualisasi

        Penataan Lingkungan Belajar
Bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan:
·         mudah keluar masuk,
·         mudah bergerak dalam ruangan, dan
·         mudah mengadakan penyesuaian.
e      Personil:
guru PLB, guru regular, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis, dokter ahli    ortopedi , dokter  ahli syaraf , psikolog, guru BP, social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic.
f)   Bimbingan Belajar
Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga      kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah memasuki program sekolah dasar.

g)  Pembinaan Karier dan Pekerjaan
    Untuk mempersiapkan masa depan anak, di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun vokasional.
   Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan asesmen karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa.
   Berkaitan dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang dalam pekerjaan, dll. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dll.

Alur pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
Asesmen → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna

Adapun Frances P. Connor (1995) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak Tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:
(1) pengembangan intelektual dan akademik,
(2) membantu perkembangan fisik,
(3) meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak,
(4) mematangkan aspek sosial,
(5) mematangkan moral dan spiritual,
(6) meningkatkan ekspresi diri, dan
(7) mempersiapkan masa depan anak.

Pembelajaran di SLB E
SLB E adalah sekolah untuk anak-anak yang mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi (Tuna Laras). Anak Tuna Laras pada umumnya sama dengan anak normal lainnya, hanya saja mereka kesulitan dalam hal pengendalian emosi.
Dalam SLB E, yang paling diutamakan adalah pembelajaran untuk mengendalikan emosi si anak. Hal ini dikarenakan permasalahan utama anak Tuna Laras adalah dalam pengendalian emosinya. Emosi anak Tuna Laras tidak stabil sehingga mereka sulit untuk tenang dan diarahkan. Oleh karena itu dalam SLB E ini mereka dilatih untuk lebih tenang dan lebih sabar dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Metode yang cukup efektif dalam permasalahan ini adalah dengna pemberian tugas yang melatih kesabaran seperti menyusun puzzle, meronce, bermain Lego, mewarnai, dan lain sebagainya. Dengan pelatihan seperti itu, anak diharapkan dapat lebih bersabar dan emosi mereka lebih terkendali. Selain itu para pengajar harus memahami kondisi si anak, dan bagaimana keadaan si anak dengan cara mendengarkan keinginan si anak serta mengarahkannya. Pemberian reward atas hal positif yang dilakukan anak dapat mengarahkan tindakan si anak.

Pembelajaran di SLB G
SLB G adalah sekolah yang menangani anak-anak yang mengalami gangguan ganda. Gangguan ganda tersebut dapat berupa gangguan fisik maupun gangguan mental. Oleh karena itu metode pembelajaran yang diterapkan haruslah lebih kompleks daripada metode pembelajaran yang terdapat di jenis SLB lainnya. Penggabungan metode pembelajaran dari setiap jenis SLB sangat dibutuhkan dalam SLB G ini. Setiap metode yang dilakukan memiliki peran masing-masing dalam perkembangan anak-anak yang mengalami gangguan ganda tersebut. Sama seperti di jenis SLB lainnya, di SLB G ini juga perlu dilakukan pelatihan fisik maupun pelatihan mental. Cara pengajar dalam memahami dan mengajari anak juga harus diperhatikan. Pengajar harus mampu mengenal dan memahami masing-masing anak karena setiap anak pastilah memiliki kebutuhan yang berbeda-beda